Dari balik pagar
besi sekolah aku melihatmu, dan disaat itu pula hatiku jatuh dalam pesonamu.
Ya, dia
sosok yang aku kagumi sejak awal kali kita bertemu. Aku yang diam-diam
menyimpan rasa pada lelaki yang tinggi menjulang diantara barisan upacara pagi
itu. Hari itu mataku seakan terfokus pada setiap tindak tanduknya. Aku masih
ingat caranya berjalan, aku masih ingat caranya memimpin barisan kami, aku
masih ingat saat mengajakku berkenalan. Saat ia berkedip pun aku tak lupa.
Lentik. Bulu matannya lentik. Bibir tipisnya yang sesering mungkin
melengkungkan senyum. Hanya lengkungan senyum. Ia jarang bahkan aku tak pernah
melihatnya menampakkan giginya. Rupanya ia berbehel.
Seakan
dunia mengerti apa yang aku mau, seakan angin membisikan kata hatiku pada sosok
lucu itu. Dia sms aku! Seakan supernova menguasai kendali otakku. Entah dari
mana ia mendapatkan nomer hapeku. Aku tak peduli. Aku merasa ada kecocokan
diantara kami. Rupanya dia mempunyai rasa yang sama. Dan akhirnya dia
menembakku. Tapi aku tidak serta merta menerimanya. Aku masih belum yakin, aku
takut dia hanya main-main. Ternyata aku salah, dia serius. Akhirnya aku
menerima tawaran realationship itu
dan memegang penuh segala sumpah serapahnya saat ia mencoba meyakinkanku.
Manis
memang, dia sosok yang romantis. Seakan aku adalah orang paling beruntung bisa
memilikinya. Tapi setelah sebulan berlalu ada sesuatu yang janggal. Dia
berubah. Sosoknya yang penuh canda kini pendiam, sosoknya yang tak pernah absen
menyapaku kini bungkam. Dan sekalipun dia tak pernah sms aku lagi. Sikap dingin
itu tiba-tiba memunculkan seribu persepsi buruk tentangnya.
Saat dia menghilang, aku merasa ada mozaik
yang hilang dari diriku. Tak cukup rasanya dia menyia-nyiakan aku. Tak puas
rasanya dia membuatku gugup dan cemburu. Padahal kini hati dan pikiranku telah
dihantui olehnya. Padahal sedetikpun tak luput memikirkannya. Rindu. Sejujurnya
hati ini seperti itu.
Apa dia lupa saat awal kali
menembakku? Apa dia lupa saat ia berkali-kali melontarkan sumpah serapah tanpa
aku memintanya? Dia meninggalkanku tanpa alasan. Dia tidak mencoba membuatku
merasa tenang. Rupanya dia menginginkan hubungan kita berakhir.
Aku ingin seperti mereka, mereka orang yang
tak pernah kau bisiki kata cinta tetapi mereka tertawa bahagia bersamamu. Bukan
seperti aku, bisikan cinta yang semu dan berakhir tangis seperti ini. Aku minta
kembalilah, jadi sosok lugu seperti yang
lalu-lalu.
Benar saja, dia meminta hubungan realationship kita
berakhir. Dia yang mengawali, dia pula yang mengakhiri. Dia yang membuatku
jatuh cinta, dia pula yang membuatku jatuh terpendam, dalam dan sakit. Sakit
sekali.
“Udahlah
Rere jangan menangis, toh ini semua demi kebaikan kalian berdua.” Ucap Dika
memecah keheningan. Sepupuku itu selalu mengerti apa yang aku rasakan. “Dia
jahat, tiba-tiba dia pergi seenak jidatnya!” Dika tersenyum melihatku dipuncak
amarahnya. “Kamu tau? Riqi bersikap seperti itu karena bokapnya. Dia ketauan
pacaran sama kamu, kamu tau sendiri kan dia keturunan Arab? Walhasil kalian
dipaksa putus ” Dika memang sahabatnya Riqii, wajar kalau dia mengetahuinya.
“Tapi kenapa dia gak mau cerita ke aku?”. “Mungkin dia punya cara tersendiri biar kamu
gak terlalu sakit sepupuku sayang”. Aku lega. Rupanya aku salah, Riqi tetap
anak yang baik. Riqi mempunya cara tersendiri agar aku memintanya putus. Tapi
bodohnya aku, aku tetap bertahan.
Ah,
semenjak kita putus keadaan semakin membaik. Aku melihat lengkungan senyum itu lagi!
Setidaknya itu telah membuatku bahagia. Cukup dalam diam aku mengagumimu, tanpa
terikat sebuah hubungan.
Jangan
beri senyum itu pada siapapun, simpan dalam-dalam dan perlihatkan padaku saat
aku merasa lebih baik :)
0 komentar:
Posting Komentar