CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 09 Maret 2013

cerpen hampir nyata


Dari balik pagar besi sekolah aku melihatmu, dan disaat itu pula hatiku jatuh dalam pesonamu.

                Ya, dia sosok yang aku kagumi sejak awal kali kita bertemu. Aku yang diam-diam menyimpan rasa pada lelaki yang tinggi menjulang diantara barisan upacara pagi itu. Hari itu mataku seakan terfokus pada setiap tindak tanduknya. Aku masih ingat caranya berjalan, aku masih ingat caranya memimpin barisan kami, aku masih ingat saat mengajakku berkenalan. Saat ia berkedip pun aku tak lupa. Lentik. Bulu matannya lentik. Bibir tipisnya yang sesering mungkin melengkungkan senyum. Hanya lengkungan senyum. Ia jarang bahkan aku tak pernah melihatnya menampakkan giginya. Rupanya ia berbehel.
                Seakan dunia mengerti apa yang aku mau, seakan angin membisikan kata hatiku pada sosok lucu itu. Dia sms aku! Seakan supernova menguasai kendali otakku. Entah dari mana ia mendapatkan nomer hapeku. Aku tak peduli. Aku merasa ada kecocokan diantara kami. Rupanya dia mempunyai rasa yang sama. Dan akhirnya dia menembakku. Tapi aku tidak serta merta menerimanya. Aku masih belum yakin, aku takut dia hanya main-main. Ternyata aku salah, dia serius. Akhirnya aku menerima tawaran realationship itu dan memegang penuh segala sumpah serapahnya saat ia mencoba meyakinkanku.
                Manis memang, dia sosok yang romantis. Seakan aku adalah orang paling beruntung bisa memilikinya. Tapi setelah sebulan berlalu ada sesuatu yang janggal. Dia berubah. Sosoknya yang penuh canda kini pendiam, sosoknya yang tak pernah absen menyapaku kini bungkam. Dan sekalipun dia tak pernah sms aku lagi. Sikap dingin itu tiba-tiba memunculkan seribu persepsi buruk tentangnya.
                Saat dia menghilang, aku merasa ada mozaik yang hilang dari diriku. Tak cukup rasanya dia menyia-nyiakan aku. Tak puas rasanya dia membuatku gugup dan cemburu. Padahal kini hati dan pikiranku telah dihantui olehnya. Padahal sedetikpun tak luput memikirkannya. Rindu. Sejujurnya hati ini seperti itu.
Apa dia lupa saat awal kali menembakku? Apa dia lupa saat ia berkali-kali melontarkan sumpah serapah tanpa aku memintanya? Dia meninggalkanku tanpa alasan. Dia tidak mencoba membuatku merasa tenang. Rupanya dia menginginkan hubungan kita berakhir.
                Aku ingin seperti mereka, mereka orang yang tak pernah kau bisiki kata cinta tetapi mereka tertawa bahagia bersamamu. Bukan seperti aku, bisikan cinta yang semu dan berakhir tangis seperti ini. Aku minta kembalilah,  jadi sosok lugu seperti yang lalu-lalu.
Benar saja, dia meminta hubungan realationship kita berakhir. Dia yang mengawali, dia pula yang mengakhiri. Dia yang membuatku jatuh cinta, dia pula yang membuatku jatuh terpendam, dalam dan sakit. Sakit sekali.
                “Udahlah Rere jangan menangis, toh ini semua demi kebaikan kalian berdua.” Ucap Dika memecah keheningan. Sepupuku itu selalu mengerti apa yang aku rasakan. “Dia jahat, tiba-tiba dia pergi seenak jidatnya!” Dika tersenyum melihatku dipuncak amarahnya. “Kamu tau? Riqi bersikap seperti itu karena bokapnya. Dia ketauan pacaran sama kamu, kamu tau sendiri kan dia keturunan Arab? Walhasil kalian dipaksa putus ” Dika memang sahabatnya Riqii, wajar kalau dia mengetahuinya. “Tapi kenapa dia gak mau cerita ke aku?”.  “Mungkin dia punya cara tersendiri biar kamu gak terlalu sakit sepupuku sayang”. Aku lega. Rupanya aku salah, Riqi tetap anak yang baik. Riqi mempunya cara tersendiri agar aku memintanya putus. Tapi bodohnya aku, aku tetap bertahan.
                Ah, semenjak kita putus keadaan semakin membaik.  Aku melihat lengkungan senyum itu lagi! Setidaknya itu telah membuatku bahagia. Cukup dalam diam aku mengagumimu, tanpa terikat sebuah hubungan.
                Jangan beri senyum itu pada siapapun, simpan dalam-dalam dan perlihatkan padaku saat aku merasa lebih baik :)   

0 komentar:

Posting Komentar